SELAMAT DATANG

Terima kasih sudah berkunjung di blog kami. Kami mohon saran dan kritiknya yang membangun, agar blog ini bisa memberikan mafaat kepada pembaca.

Senin, 27 Juli 2009

PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI

Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.

REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.
[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu

Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan' ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial', sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, 'kenyataan' Anda berbeda dengan 'kenyataan' saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.

Referensi
• Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan , Jakarta.
• Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung , Lüneburg, 317-340.
• Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America , Berkeley.
• Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
• Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.
• Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.
• Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung , Lüneburg, 341-363.
• Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen. Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
• Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.
• Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System , New York/London. Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire , New York.

Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme; Penulis : Bryan S.

“Keangkuhan”, “merasa paling benar”, dan “klaim universalitas”, adalah kata-kata yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis dalam sosiologi Barat selama ini. Apa yang kita terima dalam berbagai literatur dari wacana mereka adalah sebuah bentuk “kolonialisme” wacana, hegemonisasi kultural, dan “pemaksaan” pendapat yang menganggap “yang lain” (otherness, Timur, Islam) sebagai “barang rendahan”. Maaf, jika kata-kata ini penulis kemukakan dalam tulisan ini karena memang demikianlah apa yang menjadi realitas saat ini.

Bryan S. Turner, sosiolog kondang kenamaan abad ini, membongkar universalitas sosiologi Barat ini dalam bukunya yang versi aslinya berjudul, Orientalism, Postmodernism, and Globalism. Soal keangkuhan Barat dalam menilai Timur dan Islam, bisa diamati dari berbagai analisis akademik kaum orientalis yang mencibir kebudayaan non-Barat, dan menganggap Timur adalah irrasional, tidak demokratis, dan sangat mistik. Turner mencoba menunjukkan bahwa “sikap manis” Barat itu sesungguhnya memendam kelemahan, bahwa mereka belum tentu diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, universal, dan independen. Keangkuhan Barat mesti kita “lawan” (lewat wacana) karena jika tidak maka mustahil kita mampu memberikan alternatif bagi kemunculan keilmuan yang lebih memihak pada obyektivitas dan kemanusiaan. Apalagi, untuk konteks “Islamisasi” ilmu-ilmu sosial dalam “garapan besar” The International Institute of Islamic Thought (IIIT), langkah strategisnya adalah—seperti apa yang dilakukan Turner ini—yaitu membongkar superiority Barat dalam kajian akademis dan keilmuan.

Gejala modernitas dan kapitalisme global telah mengeruskan kekuatan religiusitas yang dilakukan agama-agama selama ini. Agama Kristen telah melakukan perombakan total dengan jalan sekularisasi general yang memadukan apa yang telah menjadi komitmen dan keyakinan religiusitas sebagai bagian kebudayaan Barat, sehingga memunculkan laju pertumbuhan masyarakat industri dan urban. Hal demikian pernah dianalisis Max Weber dalam bukunya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958). Di sisi lain, ternyata Islam, seperti diklaim Turner, mulai tumbuh menjadi kekuatan dominan dalam bidang politik dan kebudayaan, tidak hanya di Timur tapi juga pada kebudayaan Barat.

Kajian orientalisme juga mulai dipertanyakan. Banyak kritikan tajam diarahkan pada kalangan akademik Barat yang memahami non-Barat dengan pandangan sebelah mata bahwa mereka (Timur, Islam) menafikan rasionalitas modernisasi, dan lebih mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Anggapan demikian ternyata masuk pada mayoritas kajian sosiologis mereka, dan hasil analisisnya menjadi universal. Bersamaan dengan hegemonisasi pandangan ini, kemunculan Postmodernisme menjadi menarik untuk diapresiasi, terlepas beberapa ketidaksetujuan kita kepadanya. Perlu diingat bahwa rasionalisme instrumental Barat telah menancap kuat pada ingatan akademisi manapun disebabkan karena kuatnya arus globalisme (juga dalam hal pemikiran) yang membantu angapan-anggapan orientalisme. Postmodernisme ingin mendekonstruksi “narasi besar” (grand narrative) ini dengan mengajukan pluralitas pemikiran dan kebudayaan, di samping ada nilai emansipasinya juga.


Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme

Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat. Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient (1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah “orientalisme”, seperti dirasakan Said, kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik karena terlalu samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif yang congkak dari kolonialisme.[2]. Dalam buku ini, Said mengemukakan sebuah kritik pedas terhadap konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat. Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.

Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang berdasarkan pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occident). Ketiga, dan yang paling signifikan bagi Said :

Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya. Pendeknya orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan menguasai Timur.[3]

Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michel Foucault[4], yang karya-karyanya menjadi sumber penting bagi penelitian humaniora dan ilmu-ilmu sosial, bahkan di Indonesia sudah banyak bukunya yang telah diterjemahkan. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menyatu padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalime. Penyatuan ini kemudian memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus mempengaruhi kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi.

Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial. Menurut Turner, “metodologi teks” adalah tantangan yang menarik dan penting dari karya Said, dengan alasan bahwa Said menggunakan metode “dekonstruksionime” (deconstructionism), dan dia pun mampu menunjukkan bagaimana wacana-wacana, nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk “fakta-fakta” yang akan dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan Said dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok intellectual hero (seorang pahlawan intelektual –istilah yang diberikan Turner sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian analitis, namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam perjuangan politik Palestina dan Timur Tengah.

Menurut Turner, yang disayangkan dari Said adalah kritik-kritiknya terasa lemah bagi orientalisme Jerman dan Inggris. Hal ini pernah dikritik V.G. Kiernan, dalam bukunya Lords of Human Kind (1972). Kritik lain Turner terhadap Said adalah berkaitan dengan masalah hubungan Michel Foucault dan politik. Tulisan Foucault tentang psikiatri di Soviet dan analisisnya tentang tradisi hukuman di Perancis memungkinkan orang untuk beralih dari pemikiran analitis kepada sebuah posisi politis. Dalam hal ini terasa sulit untuk menghubungkan antara sikap politik Said terhadap Palestina dengan posisi epistemologi bukunya, Orientalism (hal. 34). Said, seperti dalam bukunya, Covering Islam, mengadopsi pemikiran “epistemologi realis”, yang menghubungkan antara pengetahuan dan sikap politik yang merupakan buah dari pemikirannya.

Said memang berbeda dengan Foucault, dan terjadi ambivalensi antara kritik yang radikal dan Faucaudian terhadap representasi dan pendirian humanistik, yang sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan karya Faucault sendiri. Said berpendirian bahwa dirinya, karena dorongan rasa kemanusiaan, ingin membela sebuah kasus demi orang-orang yang dicabut hak miliknya oleh wacana-wacana kolonialis. Padahal penilaian Foucault terhadap cita-cita abad pencerahan adalah untuk menciptakan pengetahuan pokok tentang kebenaran yang obyektif dan menghalangi kemungkinan wacana universal yang mampu menggulingkan kekuatan opresif.[5] Penggunaan metode Foucault menyebabkan Said tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonialis, karena Foucault tidak berangkat dari epistemologi, tapi menganalisis arkeologi sebuah pengetahuan secara kritis dan obyektif.

Yang ingin ditantang oleh Foucault adalah klaim pengetahuan yang absolut dan bisa diterapkan secara universal sebagai landasan aksi politik seutuhnya, dan ini terjadi pada Said. Ambivalensi dalam karya Said telah dianggap oleh sejumlah peresensi buku Orientalism dalam kalangan post-strukturalis sebagai sebuah gerakan catechrestic yang telah menggoncangkan bangunan-bangunan rezim pengetahuan kolonial dan neo-kolonial.[6] Yang melatarbelakangi aksi praksis Said adalah karena pembentukan persepsi Barat terhadap bangsa Arab dan Islam menjadi masalah yang sangat politis dan keras. Pertama, sejarah prasangka anti-Arab atau anti-Islam yang populer di kalangan akademik dan pengambil kebijakan Barat, yang sangat tercermin dalam sejarah orientalisme. Kedua, pergulatan antara orang-orang Arab dan Zionisme Israel, dan pengaruh terhadap penduduk-penduduk Yahudi Amerika maupun terhadap budaya liberal dan penduduk pada umumnya. Orang Arab menjadi dirugikan karena stereotip negatif yang melekat padanya. Ketiga, tidak adanya posisi budaya yang memungkinkan Arab untuk mengidentifikasikan dirinya dengan baik karena Timur Tengah kini telah begitu diidentikkan dengan politik negara-negara adikuasa, ekonomi minyak, dan perbedaan antara Israel yang dianggap demokratis dan cinta damai dan orang-orang Arab yang biadab, totaliter dan teroris.[7] Dan berdasarkan pengalaman yang dialami Said, ditambah dengan analisanya yang tajam terhadap kerancuan-kerancuan orientalisme, kemudian hal ini mendorong dia untuk berjuang melawan kolonialisme Barat --bahkan menjadi tokoh garis depan.

Kritik lain yang dikemukakan Turner terhadap pendekatan sejarah Said adalah konsentrasinya terhadap “tekstualitas” dan “tektualisme”. Tekstualisme menyebabkan solipsisme—yaitu teori yang mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri-- buta yang tidak dapat membedakan mana tulisan yang bersifat rekaan dan mana yang memang sebuah rekaman atas kenyataan sosial nyata (hal. 35). Turner juga mengkaitkan pemikiran Said antara fasisisme dan dekonstruksionisme. Di samping melandaskan konsepnya pada Foucault, Said juga mengadopsi pemikiran Heidegger, khususnya kritik filsafat metafisiknya, yang memiliki kaitan erat dengan fasisme (hal.36).

Kemunculan orientalisme menyebabkan kemunculan wacana baru sebagai tandingannya, yaitu oksidentalisme. Menurut Turner, oksidentalisme berisikan penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Barat dan penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Sikap penolakan anti Barat ini sejalan dengan kemunculan gagasan “indigenisasi” (indigenization) pengetahuan yang tumbuh dan berkembang pada “masyarakat dunia-ketiga” (the third-world society) akhir-akhir ini. Oksedentalisme menjadi menarik dikaji bersamaan dengan maraknya perbncangan tentang “islamisasi ilmu pengetahuan” (islamization of knowledge). Jika boleh berpendapat, secara real kekuatan yang sangat bernilai strategis apabila gerakan islamisasi ilmu pengetahun diproyeksikan untuk melawan hegemonisasi pengetahuan Barat yang mengklaim sebagai universalis dan instrumentalis. Bukan justru berkehendak untuk menampilkan sisi normativitas Islam, yang sesungguhnya masih kabur, untuk dianggap sebagai sebuah ilmu yang mandiri dan independen.

Dalam buku yang kita bedah ini, sebenarnya Turner juga melancarkan kritiknya terhadap gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, dengan mengajukan sebuah pertanyaan penting : apakah klaim fundamentalis terhadap islamisasi pengetahuan bersifat modernis atau anti-modernis? (hal 37). Jika, jawabannya adalah anti-modernis, maka apakah mungkin melakukan islamisasi pengetahuan tanpa menggunakan perangkat teknologi yang telah lama diproduksi oleh Barat, dan di dalamnya tentu memuat nilai-nilai Barat yang mesti diadopsi pula. Sebaliknya, apabila bersifat modernis maka sesungguhnya gerakan islamisasi pengetahuan berbeda dengan gerakan oksidentalisme. Hassan Hanafi, penulis buku Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme), menyatakan bahwa dalam oksidentalisme yang menjadi persoalan adalah problem identitas. Perlu ada penegasan identitas, penegasan eksistensi ego (Islam, Timur) dalam menghadapi the other (Barat), dan penegasan orisionalitas dalam menghadap modernisasi dan alienasi yag terkait dengan westernisasi, yang menjadi media bagi perlawanan dan perubahan.[8] Apakah islamisasi pengetahuan berupaya untuk meneguhkan identitas? Jika iya, bagaimana mungkin melepaskan secara penuh dari pengaruh-pengaruh Barat?

Kelemahan yang terasa dalam wacana orientalisme menyebabkan para pengkaji dari barat untuk menggiring wacana itu kepada globalisasi atau disebut dengan sosiologi global. Banyak orang menyederhankan pengertian globalisasi (globalization) dengan westernisasi (westernization). Menurut Turner, munculnya globalisasi akan menyulitkan pemahaman kita tentang istilah ini apabila masih membicarakan kebudayaan-kebudayaan Timur dan Barat yang terpisah, otonom, atau independen (hal 40). Kenapa? Karena, perbincangan terakhir itu telah ditinggalkan oleh wacana orientalisme yang sudah ketinggalan zaman dan melangkah pada sosiologi global. Akan menarik apabila wacana orientalisme yang menuju globalisasi ini dihubungkan dengan perbincangan mengenai postmodernisme. Perdebatan-perdebatan postmodern menekankan pentingnya perbedaan dan “ke-yanglain-an” (otherness).

Apa itu “postmodernisme”? J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), mengartikan postmodernisme secara sederhana sebagai “incredulity towards metanarratives” (ketidakpercayaan terhadap matanarasi). Metanarasi yang dimaksud, misalnya : kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan sebagainya. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme ke dalam bidang filsafat. Bagi dia, postmodernisme itu sepertinya adalah sebuah “intensifikasi dinamisme”, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.[9] Terkadang orang menyamakan postmodernisme dengan postmodernitas. Apa yang membedakan keduanya? Menurut I. Bambang Sugiharto, postmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan yang kedua merupakan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[10] Pengertian ini juga yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya terhadap Ernest Gellner yang meyamakan kedua arti tersebut. Singkatnya, postmodernisme bermakna pemikiran filosofis yang menyerang modernisme, dan postmodernitas adalah realitas yang merupakan hasil dari pemikiran yang diproduksi.

Upaya yang dilakukan postmodernisme adalah membongkar dan menghancurkan meta- narasi yang dihasilkan dari sebuah ideologi dan pemikiran mainstream yang hegemonik dan menguasai kultur pengetahuan masyarakat. Secara bersamaan, filsafat postmodern menyalahkan kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme yang birokratik, dan sama-sama dianggap sebagai “narasi-narasi besar” (grand narrative) yang menyebabkan kegersangan bagi dunia sosial modern. Menurut Turner, perkembangan-perkembangan politik dan intelektual dalam postmodernisme menjadi tantangan besar bagi orientalisme (hal 46). Orientalisme yang merupakan bagian dari meta-narasi menjadi memungkinkan untuk dilawan bagi kalangan postmodern. Cita-cita yang ingin diusung oleh postmodernisme adalah terjalinnya kehidupan yang plural, demokratis, egaliter, dan menjamin bagi emansipasi sebuah ideologi tanpa memasung rasa kemanusiaan.

Pasca runtuhnya Komunisme Soviet (yang menurunkan citra sosialisme dan tumbuhnya pengaruh postmodernisme), membuat posisi global Islam menjadi kembali diperhitungkan. Menurut Turner, adalah memungkinkan bagi Islam untuk “bergandengan tangan” dengan postmodernisme, dengan catatan bahwa perlu ada reformasi di dalam tubuh Islam dengan menghilangkan kecenderungan mengarah pada “narasi besar” yang disebabkan dari citra keseragaman dan ortodoksi keagamaan yang secara fundamental memegang teguh gagasan rasionalisme universal, disiplin, dan asketis.



Menyoal Hubungan antara Islam dan Barat

Kajian mengenai orientalisme tidak terlepas dari wacana hubungan Islam dan Barat. Umumnya, dipahami bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Dalam buku ini, Turner mencoba menjelaskan di mana letak ambiguisitas antara keduanya (Islam dan Barat), mana yang menjadi persamaan dan perbedaannya. Kita pernah diguncangkan oleh bukunya Samul Huntington, yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of world Order. Buku ini menjelaskan bagaimana Barat dan non-Barat (Timur) adalah dua wilayah yang saling berbenturan. Menurut Huntington, pasca runtuhnya Komunisme maka Islam memiliki peluang untuk berbenturan dengan Barat. Konflik yang terjadi lebih pada kebudayaan yang berbeda antar keduanya. Lebih lanjut Huntington menyatakan :

“Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda”.[11]

Sebenarnya, apa yang membedakan antara Barat (West) dan Timur (East)? Keduanya merupakan konsep yang tidak jelas dan sering terjadi pertukaran makna. Orientalisme berhak kita “gugat” karena meta-wacana ini telah menyebabkan pembedaan yang sangat timpang antara Timur dan Barat. Sejak dibukanya sejumlah jabatan untuk mengembangkan pemahaman tentang bahasa-bahasa dan kebudayaan Timur oleh Dewan Gereja Wina (Church Council of Vienna), istilah orientalisme muncul. Orang sering menganggap Islam itu identik dengan Timur. Dalam sosiologi Weberian, fakta Islam yang direkam adalah monotheistik, profetik, dan asketik. Berbeda dengan Islam, asketisme Protestan secara khusus memainkan peran yang sangat penting bagi pertumbuhan rasionalitas Barat. Bagi Weber, masyarakat Timur digambarkan secara sederhana sebagai masyarakat yang tidak memiliki unsur-unsur positif rasionalitas Barat. Masyarakat Timur didefinisikan sebagai sebuah sistem ketiadaan --tidak ada kota, tidak ada kelas menengah, tidak ada lembaga-lembaga perkotaan yang otonom, dan tidak ada hak milik (hal 101).

Pandangan sosiologi Barat menggambarkan sebuah bentuk idealisme subyektif yang tanpa disadarinya telah mereproduksi unsur-unsur pemikiran borjuis. Weber membandingkan dunia Timur dan Barat dengan sistem penjelasan yang menggunakan “hukum rasional” (rational law), “kota-kota bebas” (free cities), “borjuis perkotaan” (urban bourgeoisie), dan “negara modern” (modern state), sebagai ciri-ciri pada masyarakat Barat. Sebaliknya, sistem yang berbentuk “hukum dan ad hoc” (ad hoc law), “kamp-kamp militer” (military camps), “pedagang yang dikontrol negara” (state-controled merchants), dan “negara patrimonial” (patrimonial state), sebagai ciri-ciri dalam masyarakat Timur. Sebuah perbandingan sosiologis yang dilakukan melalui fakta yang tidak berimbang. Weber dikenal sebagai pencetus “rasionalisme instrumental” sehingga metode pemikiran sosiologinya menjadi begitu dominan bagi masyarakat Barat sampai saat ini.

Lalu, timbul pertanyaan selanjutnya : apakah kemudian pemikiran Karl Marx menyiratkan sebuah pemihakan terhadap budaya dan masyarakat Timur? Pertanyaan ini dijawab oleh Turner bahwa keduanya (Weber dan Marx) sama-sama menganut pola-pola penjelasan yang agak mirip dalam menjelaskan keberadaan sejarah dalam masyarakat-masyarakat Barat dan ketiadaannya (sejarah) dalam masyarakat Timur (hal 104). Penjelasan Weber dan Marx adalah bentuk lain dari “despotisme Timur” karena keduanya sama-sama menganut pandangan bahwa politik negara di Timur bersewenang-sewenang dan tidak menentu. Akhirnya, penjelasan sosiologi weberian dan Marxisme strukturalis tidak mengembangkan tanggapan-tanggapan yang memuaskan terhadap prosedur-prosedur penjelasan mengenai orientalisme.

Pembedaan antara Islam dan Barat sangat ditentukan oleh keberhasilan orientalisme dalam menancapkan wacana hegemoniknya pada masyarakat Barat. Politik penjajahan yang dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam membentuk citra Barat tentang Islam dan analitis mereka tentang masyarakat-masyarakat ketimuran atau oriental society. Dengan meminjam kerangka analisis Foucault, seperti diadopsi Said, kekuasaan dan pengetahuan ternyata saling mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan sebenarnya melekat dalam bahasa dan institusi yang kita gunakan untuk mendeskripsikan, memahami, dan mengotrol dunia. Dan Said berhasil menunjukkan bahwa sebagai sebuah wacana, dikotomi Timur/Barat yang secara sekilas tampak netral sebenarnya merupakan ekspresi dari suatu relasi kekuasaan tertentu (hal 64). Dan dengan jelas sekali orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan sosial masyarakat Timur.

Ada sebuah paradoks membuat perbedaan antara Islam dan Barat. Turner mengklaim bahwa Islam memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Yahudi dan Kristen, tidak seperti Hinduisme dan Konfusianisme. “Mengkategorikan Islam dengan Timur (oriental religion) akan meinmbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam wacana orientalis”, kata Turner. Islam meberikan sumbangan kultural yang berharga bagi Barat dan menjadi kebudayaan dominan di beberapa masyarakat Mediteranian. Menurut Turner, Islam tidak selamanya Timur, Kristen pun sebenarnya tidak bisa dikategorikan begitu saja sebagai agama Barat. Apa alasan Turner? Ia melihatnya secara geografis dan kultural bahwa Kristen, sebagai kepercayaan Smitik yang berakar pada agama Abrahamik, bisa dipandang sebagai agama Timur. Sementara Islam yang menjadi bagian penting dari kebudayaan Spanyol, Sisilia, dan Eropa Timur, sebaliknya dapat dipandang sebagai agama Barat (hal 66). Jadi, pengertian Barat-Islam terasa ambigu sekali. Hal ini disebabkan karena wacana orientalisme yang membuat jurang pembedaan yang besat antara keduanya. Dan juga disebabkan karena analisa Weber yang menyebut Timur serba keterblakangan dan Barat serba rasional, bisa mengarah pada universalitas pandangan orientalis, dengan pijakan rasionalisme instrumentalnya.

Turner juga mencatat tentang problematika orientalisme yang menganggap ketiadaan masyarakat sipil (civil society) pada Islam, dan lemahnya kebudayaan borjuis dalam kaitannya dengan keterbelakangan ekonomi, namun juga dengan despotisme politik (hal 82). Dalam ungkapan yang sederhana, konsep “masyarakat sipil” selama ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa Timur sesungguhnya adalah negara, bukan masyarakat. Konsep dalam masyarakat sipil mengandung pengertian bahwa individualitas dan hak-hak individu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan despotisme mayoritas, yaitu asosiasi-asosiasi sukarela (masyarakat sipil itu sendiri) yang kuat yang menjaga individu dari kontrol mayoritas dan memelihara keanekaragaman kepentingan dan kebudayaan. Menurut Turner, pandangan orientalis yang menganggap tidak adanya masyarakat sipil dalam Islam sesungguhnya merupakan refleksi dari kegelisahan-kegelisahan politik yang mendasar tentang kondisi kebabasan politik di Barat (hal 90). Turner kembali menegaskan bahwa persoalan orientalisme sesungguhnya bukan persoalan Timur, melainkan persoalan masyarakat Barat sendiri. Kata Turner, “despotisme Timur sesungguhnya hanyalah penulisan ulang besar-besaran tentang monarkhi Barat”, yang pendangannya “dilempar” ke dalam Islam. Entah, apa sebenarnya penjelasan kritis Turner mengenai hal ini.



Beberapa Pandangan Orientalis Mengenai Islam

Dalam tulisannya, Turner membedah beberapa orientalis yang mengkaji tentang masalah Islam. Kita mengenal Marshal Hodgson melalui karya monumentalnya tiga jilid berjudul The Venture of Islam (1974). Dalam buku itu, Hodgson berusaha melampaui pendekatan-pendekatan filosofis tradisional terhadap Islam dengan memberikan perhatian penuh terhadap sejumlah daerah yang di dalamnya Islam ditentukan oleh faktor-faktor sosiologis, ekonomis, dan geografis yang melingkupinya. Sebuah kajian sejarah tentang Islam yang sangat lengkap. Menurut Turner, pendekatan Turner ternyata masih gagal untuk melepaskan dirinya secara total dari asumsi-asumsi asosiologis orientalisme tradisional. Dalam pandangan Hodgson, Islam, sebagai agama maupun sistem sosial, diperlakukan sebagai perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin dalam menciptakan peradaban yang impersonal dan lahiriah. Hati nurani dianggap sebagai sebuah aktivitas kreatif paling kecil bagi seorang muslim ketika menghadapi realitas di luarnya.

Hodgson membedakan antara kajian-kajian tentang Islam an sich dan kajian-kajian tentang dunia Islam (Islamdom). Ia membedakan Islam sebagai ajaran (iman) dengan Islam sebagai sebuah konteks sejarah. Bagi Hodgson, kebutuhan untuk membedakan antara keduanya cukup mendesak karena, menurutnya, siapa saja sering terjebak untuk menyamakan antara Islam sebagai agama dan sebagai budaya. Istilah “Islamdom” dapat saja diperbandingkan dengan “Christendom”. Menurut Hodgson, “Islamdom” adalah masyarakat di mana kaum muslimin dan kepercayaan yang diakuinya sebagai yang berlaku umum dan dominan secara sosial, dan menjadi sangat penting pada beberapa arti untuk membentuk kebudayaan bersama.[12] Dalam pandangan Hodgson, kesalehan spiritual (ketaatan spiritual seseorang) adalah “cara seseorang merespon ilahi”, sedangkan agama mencangkup “percabangan yang bermacam-macam dari tradisi-tradisi yang dimaksudkan untuk mewadahi respon-respon semacam itu”. Jadi, agama adalah kulit luar yang dapat dijelaskan secara sosiologis, sedangkan kesalehan adalah bagian dalam, inti yang tak dapat dijelaskan secara sosiologis.

Turner menyimpulkan pendekatan Hodgson terhadap kesalehan/agama memunculkan apa yang disebut “kekebalan” (imunitas) sosiologis bagi keimanan. Pendapat Hodgson memisahkan mana yang merupakan ruang privat (keimanan) dan mana ruang publik (agama yang membudaya dalam konteks sosial). Seperti kata Hodgson : “Pada akhirnya seluruh kepercayaan adalah hal privat…Kita terutama adalah anak manusia, dan secara sekunder saja kita kita berpartisipasi dalam tradisi ini atau tradisi itu”. Tapi, menurut Turner, penjelasan Hodgson terhadap bagaimana memahami sistem kepercayaan asing tampak tidak memuaskan, karena jawabannya tidak meyakinkan (hal 135). Alasannya, karena Hodgson sendiri adalah pemeluk Kristen yang kuat sehingga dia menolak setiap usaha untuk memilih elemen tertentu dari Kristen dan Islam yang dapat dianggap sama dan dapat diperbandingkan. Menurut Turner, setiap usaha ke arah sinkretis, atau setiap pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah sama karena semuanya berpijak pada suatu respon kemanusiaan terhadap yang ilahi ditolak oleh Hodgson. Kritik minor terhadap Hodgson adalah bahwa dia tidak mengemukakan komitmennya sendiri secara tepat dan sistematik. Dia adalah penganut Kristen yang yakin dan mengikuti ajakan Quaker, tapi dalam analisis sejarah kegamaan banyak berhutang budi pada Rudolf Otto dan Mircea Eliade.

Setelah membedah Hodgson, Turner kemudian mengkaji pemikiran Von Grunebaum, seorang sejarahwan tentang dekadensi dan kemunduran Islam. Menurut Von Grunebaum, kemunduran Islam dari perwujudan kebajikan agama yang ideal diperparah dengan masalah-masalah yang ada dalam tradisi hukum sucinya yang tidak dapat dikembangkan untuk memberikan kondisi baru bagi perkembangan sosial (hal 163). Baginya, kekakuan hukum dan gap atau ruang kosong antara ideal keagamaan (secara normatif) dan praktik politik kekuasaan (secara empirik) dalam Islam, menunjukkan kegagalan teologis Islam. Islam gagal disebabkan karena konservatisme dan tidak adanya integrasi kultural. Dia memandang bahwa umat Islam hanya melakukan pengulangan sejarah, atau bisa disebut dengan “romantisme historis”, sehingga hakikat realitas Islam adalah tidak berubah.

Bagi Grunebaum, sifat terus-menerus mengulang dari sejarah Islam menunjukkan sisi lebih lanjut dari daya memiliki kultural dan imitasi sosial Islam (cultural mimicry social imitation). Islam kemudian dipandang sebagai barang pinjaman yang tak ada habisnya dari masa lalu pagan Arab, dari teologi monotheistik Yahudi-Kristen, dari logika Hellenistik, dan dari teknologi Cina. Hampir secara keseluruhan masyarakat Islam dianggap tidak kreatif dan tidak memiliki pengaruh sama sekali, dan aturan-aturan komposisi puisi Arab dianggap hanya membuat pengulangan-pengulangan dan tidak adanya penemuan baru (hal 164). Ketika Grunebaum beralih kepada permasalahan-permasalahan tentang kepercayaan dan praktik peribadatan dalam Islam, dia sekali lagi menuduh bahwa Islam itu gersang, sederhana, dan secara emosional tidak memuaskan. Secara singkat, Grunebaum memberikan kepada kita sebuah tesis bahwa kegagalan Islam pada akhirnya adalah kegagalan pemikiran dan keinginan. Jika di Islam sikap kesalehan ritual diorientasikan untuk mencari kehidupan yang damai dan tenang sehingga meminimalisir kegiatan berfikir dan etos kerja, sedangkan di Barat, munculnya dunia modern ditandai dengan deklarasi tentang pikiran aktif mencari, yakni I think, therefore I am (aku berfikir maka aku ada). Filsafat Cartesian membuka jalan bagi modernisasi yang didasarkan pada nilai-nilai pencapaian dan tindakan. Fenomena modernitas juga pernah ditunjukkan oleh Weber tentang etos kapitalisme Barat yang berasal dari doktrin Protestanisme.

Turner kemudian mengkritik pendapat Grunebaum dengan dua catatan. Pertama, Turner menganggap Grunebaum mengkaji Islam dari luar dan benar-benar menganggapnya sebagai tugas akademik untuk ikut memberikan penilaian atas Islam. Pernyataannya tentang gap antara cita dan realitas dalam Islam tidak berimbang dengan yang terjadi Kristen, yang seharusnya mendapat sorotan pula. Dengan mengutip Edward Said, Turner menganggap bahwa pespektif Grunebaum penuh dengan “sikap tidak suka yang jahat terhadap Islam” (hal 169). Kedua, soal pernyatan Grunebaum tentang romantisme atau pengulangan sejarah dalam Islam. Wacana yang dikemukan dibumbui dengan keanehan literatur, di mana ia menggambungkan antara antropologi dan filologi. Ia juga melakukan pengulangan dengan mereproduksi seluruh tema mimetik orientalisme.

Sebagai catatan akhir untuk mengakhiri tulisan ini, dapat penulis kemukakan bahwa sudah saatnya sosiologi menjadi sebuah kajian yang terbuka bagi keseragaman pandangan dalam menilai masyarakat-masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Di zaman postmodern ini maka kajian mengenai sebuah persoalan, misalnya tentang orientalisme, tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah pengamatan yang final, universal, dan menjadi satu-satunya kebenaran. Dalam buku ini Turner mengajukan sebuah pandaagan sosiologi yang multi-paradigmatik, hampir mirip dengan gagasannya George Ritzer yang menulis buku Sociology : A Multiple Paradigm Science (1980) --walaupun dalam buku ini Turner tidak menyebut satupun nama Ritzer. Wacana orientalisme yang telah mengakar kuat pada masyarakat Barat menjadi kajian sosiologi yang sangat hegemonik, dan kini layak untuk “dibongkar” kembali untuk mebuat keseimbangan pandangan tentang Islam dan Barat yang obyektif. Kemunculan oksidentalisme menjadi penting untuk dihadirkan.

Buku ini terasa sulit untuk dibaca secara lengkap dan tuntas karena kerumitan yang suguhkan oleh Turner sendiri, di samping kurang halusnya bahasa terjemahannya. Dengan keluasan wawasan dan literatur yang sangat dalam, Turner berupaya mengkaji secara kritis beberapa pemikir ilmu-ilmu sosial modern dengan amat komprehensif dan berimbang. Hanya saja, Turner kurang mampu membuat tulisannya itu secara sistematis untuk membidik mana saja persoalan yang layak dikritisi. Sikap kritisnya pun belum begitu mampu menjatuhkan analisa-analisa dari obyek kritikannya. Tapi, dalam persoalan orientalisme, Turner cukup berhasil dalam menghadirkan analisa Foucault dan Edward Said untuk “menghabisi” kerancuan-kerancuan kalangan orientalis yang memahami Timur dan Islam secara tidak adil. Apapun yang dilakukannya, buku ini adalah sebuah “karya agung” untuk memunculkan bagi kajian sosiologi alternatif yang bisa mengajukan analisa-analisa baru secara obyektif, plural, dan penuh keterbukaan.

Hubungan Sosiologi dengan SEKTE

Etimologi

Kata sekte berasal dari istilah bahasa Latin secta (dari sequi, mengikut), yang berarti (1) suatu langkah atau jalan kehidupan, (2) suatu aturan perilaku atau prinsip-prinsip dasar, (3) suatu aliran atau doktrin filsafat. Sectarius atau sectilis juga merujuk kepada pemotongan, namun makna ini, berlawanan dengan pandangan umum, tidak terkait dengan etimologi kata ini. Sectator adalah pemimping atau penganut yang setia.

Definisi dan deskripsi sosiologis

Artikel utama: Tipologi gereja-sekte
Ada beberapa definisi dan deskripsi sosiologis untuk istilah ini. [2] Salah seorang yang pertama mendefinisikannya adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch (1931) [3] Dalam tipologi gereja-sekte mereka digambarkan sebagai kelompok-kelompok keagamaan yang baru terbentuk untuk memprotes unsur-unsur dari agama asalnya (biasanya suatu denominasi. Motivasinya cenderung terletak dalam tuduhan kemurtadan atau ajaran sesat dalam denominasi asalnya. Mereka seringkali memprotes kecenderungan-kecenderungan liberal dalam perkembangan denominasi dan menganjurkan umat untuk kembali ke agama yang sejati. sosiolog Amerika Rodney Stark dan William Sims Bainbridge menegaskan bahwa "sekte-sekte mengklaim dirinya sebagai kelompok yang otentik dan bersih, sebagai versi dari iman yang telah diperbarui, yang daripadanya mereka memisahkan diri" [4]. Lebih jauh, mereka menegaskan bahwa, berbeda dengan gereja, sekte memiliki tingkat ketegangan yang tinggi dengan lingkungan sekitarnya [5].

Sektarianisme kadang-kadang didefinisikan dalam sosiologi agama sebagai suatu pandangan dunia yang menekankan keabsahan unik dari kredo dan praktik-praktik orang percaya dan hal itu meningkatkan ketegangan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tindakan mereka membangun praktik-praktik yang menegaskan batas pemisahnya. [6]

Sebaliknya, suatu kultus keagamaan atau politik juga mempunyai ketegangan yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, namun keyakinan-keyakinannya berada dalam batas konteks masyarakat itu, meskipun baru dan inovatif. Sementara kultus mampu memaksakan norma-normanya dan gagasan-gagasannya terhadap anggotanya, sekte biasanya tidak mempunyai "anggota" dengan kewajiban-kewajiban yang tegas, melainkan hanya pengikut, simpatisan, pendukung, atau penganut saja.

Partai-partai sosialis, sosial-demokrat, buruh, dan komunis yang berbasis massa, seringkali berasal-usul dari sekte-sekte utopis, dan karenanya juga memproduksi banyak sekte, yang memisahkan diri dari partai massanya. Khususnya partai-partai komunis dari 1919 mengalami berbagai perpecahan, di antaranya dapat disebut sebagai sekte dari induknya.

Salah satu faktor utama yang tampaknya menghasilkan sekte politik adalah ketaatan yang ketat kepada suatu doktrin atau gagasan setelah waktunya telah lewat, atau setelah doktrin itu tidak lagi mempunyai relevansi yang jelas terhadap realitas yang berubah.

Sosiolog Inggris Roy Wallis[7] menyatakan bahwa sekte dicirikan oleh "otoritarianisme epistemologis": sekte-sekte memiliki suatu locus yang berwibawa yang dapat mengabsahkan suatu ajaran sesat. Menurut Wallis, "sekte mengklaim dirinya memiliki suatu akses yang unik dan isitimewa kepada kebenaran atau keselamatan dan "para pemeluk mereka yang teguh biasanya menganggap semua yang ada di luar batas-batas kolektivitasnya 'keliru'". Ia membedakan hal ini dengan kultus yang digambarkannya memiliki ciri khas "individualisme epistemologis". Maksudnya ialah bahwa "kultus tidak mempunyai locus otoritas tertinggi yang jelas di luar anggotanya masing-masing."[8] [9]

Konsep sekte dalam konteks India

Axel Michaels, seorang Indolog, menulis dalam bukunya tentang Hinduisme bahwa dalam konteks India kata "sekte tidak menunjukkan adanya perpecahan atau komunitas yang terasingkan, melainkan lebih pada suatu tradisi yang terorganisir, yang biasanya didirikan oleh si pendiri yang melakukan praktik-praktik asketik." Dan menurut Michaels, "Sekte-sekte India tidak memusatkan perhatian pada ajaran sesat, karena tidak adanya pusat atau pusat yang menuntut membuat hal ini tidak mungkin. Sebaliknya, fokusnya adalah pada para penganut dan pengikutnya."[10]

  • Lihat pula Daftar sekte Hindu

Padanan kata ini dalam bahasa Perancis, Spanyol, Jerman, Polandia, Belanda, dan Rumania

Dalam bahasa-bahasa Eropa selain Inggris kata padanan untuk 'sekte', seperti misalnya "secte", "secta", "sekta", atau "Sekte", digunakan untuk merujuk kepada sekte keagamaan atau politik yang berbahaya, dalam pengertian yang sama ketika orang di negara-negara berbahasa Inggris menggunakan kata kultus (cult).

Arti "sekte" di negara-negara yang memiliki tradisi Katolik yang kuat

Di Amerika Latin, kata ini seringkali digunakna untuk merujuk kelompok keagamaan non-Katolik Roma manapun, tak peduli berapa besar kelompok itu, seringkali dengan konotasi negatif yang sama yang dimiliki kata 'kultus' dalam bahasa Inggris. Demikian pula di beberapa negara Eropa di mana Protestanisme tidak pernah benar-benar populer. Gereja-gereja Ortodoks (baik Yunani maupun Katolik) sering menggambarkan kelompok-kelompok Protestan (khususnya yang lebih kecil) sebagai sekte. Hal ini, antara lain, tampak di Rusia, Ukraina, Belarus dan Polandia.